Merenung HANACARAKA bolak balik.
Pendahuluan:
Sebenarnya tidak banyak yang saya ketahui tentang Hanacaraka selain dari apa yang pernah saya pelajari di sekolah dasar, lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Juga karena saya dilahirkan dan dibesarkan di daerah Jawa pinggiran (Surabaya), maka pengertian saya tentang bahasa Jawa-pun sangatlah terbatas.
Setahun setelah diterimanya saya sebagai anggota seni pernapasan tapak panca belum mengetahui apa hubungannya seni pernapasan tapak panca dan Hanacaraka.
Setelah menerima uraian Sastrajendra Hayuningrat , barulah saya sedikit melihat hal hal ataupun pengertian yang ada dibalik ke 20 suku suku kata dalam Hanacaraka.
Atas anjuran Mang Dipo saya mencoba merenungkan ke empat jurus Hanacaraka secara bolak balik (dari atas kebawah dan juga sebaliknya). Namun satu satunya bahan yang ada pada saya hanyalah uraian Kyai Makrus ditambah ingatan saya tentang empat buah ilustrasi Hanacaraka yang menggambarkan dua wayang yang sedang bercakap-cakap (Hanacaraka), bertengkar (Datasawala), berperang-tanding (Phadhajayanya) dan tergeletak mati (Magabathanga).
Membaca uraian Kyai Makrus yang mengatakan bahwa Hanacaraka sebenarnya adalah suatu ‘ilmu luhung’ yang sangat tinggi, maka saya mencoba membawa renungan saya kedalam meditasi untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan berarti.
Dari renungan dan meditasi yang saya lakukan, perlahan lahan pengertian Hanacaraka yang hanya terdiri dari 20 suku kata tersebut menjadi semakin lama semakin meluas hingga mencakup segala apa yang pernah saya pelajari dan alami.
Sampai kepada hal hal yang sekedar pernah saya baca, yang saya sendiri belum mengetahui kebenarannya, ternyata telah tersirat didalam Hanacaraka.
Suatu saat saya merasa bahwa mungkin saya telah menyimpang terlalu jauh dari pokok renungan dan tidak lagi sesuai dengan uraian Kyai Makrus yang saya jadikan bahan renungan semula, kecuali kalimat kalimat singkat yang menyertai ke 20 suku kata Hanacaraka di halaman pertama.
Mengingat kata kata Guru Besar Samsul Huda.SH bahwa pengertian yang dapat kita ambil dari Hanacaraka tergantung dari Caraka kita masing masing, maka dibawah ini akan saya coba uraikan pengertian yang saya dapatkan, walaupun masih terbatas karena keterbatasan kata kata dan bahasa.
Uraian empat jurus HANACARAKA
Keempat jurus Hanacaraka sebenarnya menyiratkan 4 tingkat alam kehidupan alam semesta yang tidak terbatas hanya kepada insan manusia diatas bumi ini.
Secara ringkas / garis besarnya:
1. Hanacaraka – menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat yang tertinggi (mendasar). “ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsa sebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi. Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka) yang Maha Kuasa.
2. Datasawala – menyiratkan alam kehidupan pada tingkat Monad, Logos. (Atma?) yang berada diluar dimensi ruang dan waktu. Ke-Maha-Kuasa-an yang didasari oleh Cipta, Rasa dan Karsa yang ada pada setiap Logos / Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ / ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”.
3. Padhajayanya – menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi’ dari ‘kehendak’ / ‘niat’ dari jajaran Ingsun (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam semesta beserta seluruh penghuninya. Disini terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya ‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun dan Ingsun (kawula lan Gusti)
4. Magabathanga – menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati) dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Allah) melaksanakan ‘misi’nya (karsa) yang timbul dari ‘niat’ untuk ‘meracut’ busana manusia dialam fisik (alam kematian / tidak kekal). Alam jiwa dan raga.
Dengan meng-kaji keempat jurus diatas secara bolak balik dan berulang ulang, saya ‘mendapatkan’ pengertian tentang apa ‘misi’ kita sebenarnya dengan ‘turun’-nya kita ke dunia ini.
Pengertian ini belum pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, dan juga belum pernah saya dapatkan dari ‘ajaran ajaran’ lain yang pernah saya ketahui. (Lihat MISI – Karsa manusia didunia ini.)
1. HANACARAKA - Dasar kesunyataan Ha-na-ca-ra-ka: Hana (ada) Ca, Ra, Ka (Cipta, Rasa, Karsa).
Ha – Huripku Cahyaning Allah. Hidup(ku) adalah cahaya Allah dimana Allah adalah sumber dari cahaya / kehidupan alam semesta. Lain dari definisi ‘hidup’ yang kita kenal selama ini, seluruh alam semesta sebenarnya penuh dengan kehidupan, mulai dari particle atom yang terkecil sampai kepada seluruh planet, bintang dan Galaxi beserta seluruh penghuninya, baik yang berada dalam dimensi kita, maupun dimensi dimensi lainnya yang tidak kita kenal/ketahui.
Na – Nur hurip cahya wewayangan. Nur hidup adalah cahaya yang membayang.
Terpengaruh oleh perlambang dalam permainan wayang, semula saya berkesan bahwa Allah adalah sumber cahaya kehidupan, Nur adalah cahaya yang membayang dan Caraka adalah wayangnya. Dalam konteks tersebut kita akan segera menganggap Caraka (utusan) sebagai Ingsun serta bayangan dilayar adalah ingsun (bayangan dari Ingsun).
Namun setelah saya renungkan kembali, ternyata jurus Hanacaraka ini menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta yang berada dua tingkat diatas alam Ingsun. Ingsun baru muncul pada alam ketiga –
Padhajayanya. (Maaf kalau pengertian saya tentang kata “Ingsun” mungkin kurang tepat.)
Baik dalam pengertian pertama maupun kedua, sebenarnya bisa kita simak rahasia penciptaan alam semesta yang mempunyai tiga aspek yang manunggal (Tritunggal). Dalam pengertian yang pertama, Ha, Na dan Caraka adalah ketiga aspek tersebut, sedangkan dalam pengertian kedua Caraka sendiri juga mengandung ketiga aspek yang sama yakni Cipta, Rasa dan Karsa.
Ca – Cipta rasa karsa kwasa.
Tritunggal Cipta, Rasa dan Karsa adalah aspek aspek yang mendasari kwasa / kekuasaan yang tertinggi (Maha Kuasa) diseluruh alam semesta.
Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh.
Aspek Rasa (Rahsa sejati) yang terkandung didalam Tritunggal diatas merupakan aspek kendali dalam kekuasaan yang Maha Tinggi tersebut.
Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat.
Karsa, hasil ataupun ‘wujud’ dari Tritunggal diatas adalah kwasa / ke-Maha-Kuasa-an yang masih murni, yang belum diwarnai oleh keinginan ataupun kehendak.
Manifestasi dari Tritunggal (Caraka, utusan Allah) yang Maha Kuasa tersebut diatas terjelma / terjadi didalam alam Datasawala yang penuh dengan jajaran Monads, Logos dll. yang berkuasa penuh dalam alam manifestasinya masing masing.
2. DATASAWALA - Alam Monad / Logos (Atma?)
Da-ta-sa-wa-la menyiratkan alam kehidupan pada tingkatan Logos, (Solar / Planetary Logos) dan Monad / Atman. Pengalaman pribadi yang saya alami di bulan Agustus 1997 yang lalu memberikan gambaran tentang alam ini, dimana kesadaran saya terlebur dalam sebuah ‘bola cahaya’, atau lebih tepatnya (karena tak ingat bentuk, pinggiran/batasannya), semacam awan yang mula mula berwarna kelabu dan semakin lama semakin cemerlang.
Juga dialami adanya Rahsa kebahagiaan dan kebebasan yang tiada taranya (sempurna / perfect bliss) serta semacam ‘kesadaran’ tanpa menyadari siapa yang sadar, atas hubungan (inter-connected-ness) diantara ‘segalanya’, termasuk batuan, tumbuhan, hewan serta raga raga manusia walaupun tanpa ‘bentuk’ yang nyata maupun tenggang masa (diluar dimensi ruang dan waktu)
Semula saya mengira bahwa awan cemerlang tersebut adalah segalanya dalam alam semesta ini (ALL THAT IS), namun dari membaca berbagai literature seperti “The RA Material”, “The Only Planet of Choice” dll, saya menganggap bahwa apa yang saya alami mungkin baru mencapai tingkat Monadic atau Atman dan belum sampai kepada kemanunggalan yang tertinggi.
Meminjam istilah RA, yang menyebutnya sebagai “Social Memory Complex”, awan cemerlang tersebut merupakan kesatuan dari berjuta-juta Ingsun (Higher Self) yang ber-evolusi bersama-sama.
“The Only Planet of Choice” menyebutkan adanya 24 “Civilization” utama dengan beratus/ribu sub-civilisations seperti misalnya Atlantean (Atlantis dan Lemuria) yang tergabung dalam “Altean Civilization”. Dalam Al-kitab, 24 Civilization ini disebutkan sebagai 24 tua tua yang duduk disamping Tuhan. (mungkin di Wahyu / Revelation namun entah ayat yang mana)
Ternyata hal hal diatas sudah tersirat dalam rumusan
Datasawala secara jelas:
Da – Dumadi kang kinarti
Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna sebagai Karsa (‘hasil’/’wujud’) dari Tritunggal (Caraka) diatas.
Ta – Tetep jumeneng ing dzat kang tanpa niat.
Tetap berada dalam dzat (Nur hidup cahaya yang membayang) diluar dimensi ruang dan waktu serta masih murni, belum diwarnai oleh kehendak atau niat, walaupun sudah membawa maksud, rencana dan maknanya masing masing.
Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit.
Sifatnya ‘ada’ namun tanpa asal usul. Kekal, berada diluar dimensi waktu dimana tidak ada perbedaan antara waktu lalu, sekarang maupun yang akan datang.
Wa – Wujud hana tan kena kinira.
Wujudnya ‘ada’ namun tak berbentuk. Manunggal, berada diluar dimensi ruang dimana tak ada perbedaan antara sini atau sana, dekat atau jauh, atas atau bawah, depan atau belakang.
La – Lali eling wewatesane.
Lupa ingat adalah batasannya. Tersirat dalam kalimat tiga kata diatas adalah terjelmanya free-will, niat, kehendak yang bebas, hanya dengan batasan ‘ingat’ ataupun ‘lupa’ akan maksud, rencana dan makna yang sudah digariskan semula sesuai Karsa Tritunggal diatas.
Dengan timbulnya ‘kehendak bebas’ maka ‘adalah’ / terjadilah Ingsun (Higher Self / Guru Sejati) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Atman. Setiap Ingsun dilengkapi oleh ‘kehendak’ / niat sesuai dengan karsa, maksud, rencana dan maknanya masing masing.
Manifestasi dari kehendak yang sesuai dengan karsa menciptakan alam ketiga, alam Ingsun yang tersirat dalam rumusan Padhajayanya.
3. PADHAJAYANYA – Alam Ingsun dan ingsun
Pa-dha-ja-ya-nya menyiratkan terciptanya dimensi ruang dan waktu. Dengan adanya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara Ingsun dan ingsun. Dan dengan adanya waktu terjadi pula proses evolusi.
Disini tersirat pula hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Adanya ‘Rasa’ membuat semuanya ‘nyata’ tanpa melihatnya dengan mata, dan semuanya bisa dimengerti walaupun tanpa diajari. Namun demikian dalam alam ini ‘rasa’ yang ada belum dapat diwujudkan.
Per‘wujud’an (karsa) dari rasa tersebut baru ter-manifestasi-kan dalam alam berikutnya.
Pa – Papan kang tanpa kiblat. Papan tak berkiblat.
Kata kata “papan” dan “kiblat” menyiratkan adanya dimensi ruang yang baru pertama kali disebutkan dalam tingkat Padhajayanya. Dihubungkan dengan teori ilmu fisika alam, dalam kalimat ini tersirat terjadinya “Big Bang”. Perlu ditambahkan bahwa masih banyak dimensi dimensi lain diluar ketiga dimensi ruang yang kita kenal.
Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane. Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya.
Terciptanya dimensi ruang segera disusul dengan terciptanya dimensi waktu. Dan dalam kalimat sederhana diatas tersirat pula adanya proses ‘evolusi’ dalam ‘waktu’ yang bermula dari kesederhanaan.
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti. Bersatunya antara hamba dan Tuannya.
Dengan terjadinya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara kawula dan Gusti walaupun masih berada dalam kesatuan.
Ya – Yen rumangsa tanpa karsa.
Adanya Rasa namun masih belum dilengkapi dengan karsa. (belum dapat di’wujud’kan).
Nya – Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki.
Dengan adanya Rasa semuanya di-’rasa’-kan nyata walaupun tanpa melihat dengan mata, dan semuanya bisa mengerti walaupun tanpa diajari.
Kedua kalimat terakhir diatas menggambarkan hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Dalam alam Padhajayanya yang berdimensi waktu, baik Ingsun maupun ingsun mengalami proses evolusi.
Ingsun sebagai bagian tak terpisahkan dari Monad-nya di alam Datasawala, ber-evolusi di alam Padhajayanya dalam rangka manifestasi dari ‘kehendak’ (niat) yang ada padanya sesuai Karsa yang telah digariskan. Tergantung dari tahapan evolusi yang dicapai, Ingsun dapat merupakan ‘kumpulan’ dari ingsun ingsun yang tak terbilang banyaknya, dimana jajaran ingsun tersebut juga ber-evolusi dari hasil pengalamannya ber-karsa di alam Magabathanga.
4. MAGABATHANGA – Alam jiwa dan raga
Ma-ga-ba-tha-nga menyiratkan alam jiwa dan raga, dimana ingsun ber’karsa’ dengan cara ber- re-inkarnasi berulang kali, untuk ‘hidup’ di alam ‘kematian’.
Dalam rangka me’wujud’kan rasa dengan ber’karsa’ dialam kematian, ingsun dibimbing oleh sang Ingsun (Guru Sejati) dan dibantu oleh Bayu Sejati yang merupakan bayangan dari kekuasaan yang tertinggi.
Karsa yang dilaksanakan dengan hidup di alam kematian adalah memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada (tanah, air, udara dan api) serta meracutnya sedemikian rupa sesuai dengan rasa yang hendak di-karsa-kan (diwujudkan).
Ma – Mati bisa bali. Mati bisa kembali.
Dalam hal ini, ingsun yang memasuki alam kematian memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada, akan kembali kealam kehidupan.
Ga – Guru Sejati kang muruki
Dalam rangka ber-‘karsa’, ingsun dibimbing oleh Ingsun (Guru Sejati)
Ba – Bayu Sejati kang andalani
Bayu Sejati yang merupakan bayangan kekuasaan yang maha tinggi merupakan bantuan yang dapat diandalkan dalam ber-karsa.
Tha – Thukul saka niat.
Karsa yang dilakukan dengan masuknya ingsun ke alam kematian timbul dari niat / kehendak yang luhur, yang timbul pada saat ‘lahirnya’ Ingsun sebagai bagian dari Monad di alam Datasawala.
Nga – Ngracut busananing manugsa
Meracut busana manusia ternyata adalah ‘misi’ utama dari ingsun yang menjelma sebagai manusia.
MISI – Karsa manusia di dunia ini.
Dari meng-kaji keempat jurus Hanacaraka secara bolak balik secara berulang kali selama dua minggu, pada akhirnya saya mendapatkan suatu gambaran tentang apa yang terjadi di alam semesta ini, dan apa sebenarnya ‘misi’ kita menjelma menjadi manusia secara berulang kali. Hal mana terjadi ketika saya mencoba menelusuri Hanacaraka dari bawah keatas, dari Nga sampai kepada Da dan secara tiba tiba teringat akan ajaran agama Hindu tentang Trimurti (Brahma, Wishnu dan Shiva) serta istilah Theosophy – The First, Second and Third Outpourings dalam buku “Man visible and invisible” yang menerangkan proses evolusi.
Gabungan agama Hindu, Theosophy dan Hanacaraka di jurus Datasawala, secara tiba tiba membuka suatu wawasan yang sama sekali baru bagi saya.
Jurus Datasawala diatas menyiratkan alam pada tingkat Logos dan Monad yang memanifestasikan kehendaknya di alam Padhajayanya melewati proses evolusi. Menurut ajaran Theosophy evolusi alam terjadi dalam tiga tahapan. The First Outpouring menciptakan alam elemental (mulai dari energy yang berevolusi sampai kepada unsur unsur kimia yang ada), The Second Outpouring memberikan bentuk kepada elemen elemen tersebut mulai dari terbentuknya bintang dan planet sampai kepada hewan. (Mineral, Vegetation and Animal Kingdoms), dan The Third Outpouring memberikan esensi ke-Allah-an yang akan mendorong evolusi dari Animal Kingdom melalui Manusia kembali ke Tuhan/Allah.
Disini juga terlihat analogy dengan Trimurti dari ajaran Hindu dimana Dewa Brahma (Pencipta) analog dengan The First Outpouring. Dewa Wishnu (Pemelihara) analog dengan The Second Outpouring dan Dewa Shiwa (Perusak) analog dengan The Third Outpouring yang merusak/merubah untuk mendorong terjadinya evolusi.
Kembali ke Hanacaraka dari atas ke bawah, dari Ha sampai ke Nga, terlihat jelas bahwa “Ngracut busananing manugsa” adalah misi ingsun dan Ingsun untuk berpartisipasi dalam proses evolusi di bumi ini sebagai bagian dari The Third Outpouring.
Dihubungkan dengan ajaran Seni pernapasan Tapak Panca, misi untuk meracut busana manusia ini adalah sama dengan mengajak dan mendorong saudara saudara kita yang 9 untuk ber-evolusi. Saudara saudara kita tersebut sebenarnya merupakan bagian dari planetary logos bumi ini (Gaia) yang merupakan sub-logos dari Solar Logos yang mempunyai ‘acara’nya sendiri dalam memanifestasikan Cipta, Rasa, Karsa yang ada padanya. Kita adalah ‘tamu’ yang datang untuk membantu.
Cerita tentang benua Atlantis yang tenggelam (hancur) menimbulkan pemikiran bahwa mungkin perkembangan evolusi yang terjadi pada saat itu telah menyimpang dari jalur evolusi yang sudah digariskan sebelumnya oleh Solar Logos dan kehendaki oleh Gaia.
Apakah perjalanan misi kita, manusia saat ini, masih sesuai dengan jalur evolusi Gaia yang telah digariskan????
Silahkan melanjutkan renungan ini.
Eyang menggung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar